Wednesday, April 13, 2016

Fairytale : Fairy Story



 Angin musim gugur berhembus bagai belaian surga dengan membawa udara dingin ke seluruh penjuru kota. Lampu-lampu malam dinyalakan dalam keremangan yang menidurkan. Kabut berlarian meraih setiap udara kosong yang dilaluinya, di bawah lingkaran kuning yang bersembunyi di balik awan.
Ketenangan sepertinya membawa kedamaian bagi setiap jiwa di kota. Membalut mereka dengan segudang mimpi yang mempesona. Alunan angin membawa daun-daun kemerahan berdansa di bawah naungan sang kaisar malam, menjelajahi dunia.
Di sanalah seorang gadis malang, gadis yang kesepian, merasa kesedihan membawanya jatuh dalam mimpi yang mencekam.
Terbangun dalam ribuan butir keringat, nafasnya memburu dan tubuhnya menggigil.  Dalam ketakutan ia ingin berteriak meminta tolong. Namun ia sekali lagi jatuh dalam keraguan bahwa tidak akan ada yang bersedia untuk menolongnya. Ibunya telah membuangnya dan ayahnya telah mencampakkannya. Rumah yang ia tinggali pun bukanlah rumahnya. Di sini ia hanya tinggal di bawah belas kasihan seorang wanita baik hati yang tak seharusnya mendapat kesialan bertemu dengan dirinya. Kini keluarga si wanita terancam hancur karena kehadirannya.
Seandainya saja aku tak pernah lahir ke dunia… ia membatin.
Dengan kaki yang telanjang ia menapaki lantai kayu yang keras dan dingin. Berjalan menyusuri setiap ruangan dan berhenti di ambang pintu untuk menikmati pemandangan di taman. Semuanya berada dalam keremangan. Bahkan bulan pun tak mau menampakkan dirinya ke malam itu.
Si gadis kecil lalu melangkahkan kakinya ke atas rumput yang basah oleh embun. Ia dengan hikmat merasakan dinginnya air di bawah telapak kakinya dan menikmati angin yang dengan lembut membawa kesedihannya pergi. Kaki-kaki kecilnya melangkah kemanapun angin berhembus membisikkan arah padanya.
“Apa yang sedang kau lakukan di halaman selarut ini?” seorang wanita dengan rambut merah menyala dan kulit seputih salju menghampirinya dari arah rumah dengan mengenakan piama putih yang panjang.
Si gadis hanya terdiam memandangi si wanita melewati kecantikan wajah yang memperbudak para pria tepat ke dalam hatinya.
“Apa kau bermimpi buruk lagi, Cateline?” ia bertanya saat jarak di antara keduanya hanya setipis kertas.
“Aku baik-baik saja, Nyonya Rosalyn.”  Jawab si gadis penuh dengan rasa hormat. Rosalyn, ia adalah satu-satunya yang selama ini bersikap baik padanya, namun karena hal itu pula masalah demi masalah serta hinaan menghampirinya secara bertubi-tubi tanpa ampun. Cateline tahu, Rosalyn tak pantas mendapaat semua cercaan karena bersikeras mempertahankan dirinya. Cateline tak pernah mengerti mengapa orang-orang sepertinya sangat membenci dirinya. Dan ia juga tak pernah tahu mengapa Rosalynn tetap bersikeras ingin mempertahankan dirinya di sisinya. Akan jauh lebih mudah bagi Rosalynn untuk membuang Cateline di pinggir hutan lalu hidup dengan bahagia, selamanya. Seperti semua putri di setiap negeri dongeng.
Bagaimana pun, sebaik apapun Rosalyn terhadap Cateline, hal itu tak pernah membuatnya merasa nyaman. Aku tak pantas mendapatnyakannya Cateline selalu membatin sedih.
Rosalynn menggenggam tangan Cateline erat  lalu mengajaknya kembali lagi ke dalam rumah dalam langkah yang cepat.

Malam berikutnya, Cateline kembali terbangun, namun kali ini bukan karena mimpi yang membuatnya tersentak ketakutan, melainkan karena suara canda tawa. Bukan dalam butir-butir keringat melainkan rasa penasaran akan keajaiban apa yang telah menantinya.
Tiba-tiba saja ia merasa sesuatu menariknya berjalan melewati lorong gelap ke luar menuju taman.
Cateline lalu melihat beberapa sosok terang bak kunang-kunang –namun lebih besar– seperti menari mengilingi air mancur di tengah taman. Di atas ukiran malaikat pembawa candi. Cateline lalu mendekat, semakin dekat hingga ia dapat melihat kalau mereka sama sekali bukanlah kunang-kunang. Mereka memiliki dua tangan dan dua kaki sama sepertinya, hanya saja berkali lipat lebih kecil. Wajah mereka seperti gambar para peri dalam kisah-kisah pendongeng. Kulit mereka bersinar sangat terang dan masing-masing memiliki warna yang berbeda. Biru, hijau, kuning, merah, jingga… Sayap mereka bergerak dengan sangat cepat menaburkan ratusan debu sihir ke udara.
Menyadari kehadiran Cateline, mereka terbang menjauh menuju pagar. Bukan karena takut. Mereka ingin menunjukan sesuatu pada Cateline. Dengan gerakan gesit dan lincah mereka melayang kesana kemari namun tetap dalam satu jalur lurus menuju sebuah keajaiban yang tak pernah Cateline bayangkan sebelumnya.
Dengan perasaan menakjubkan Cateline pun lalu mengikuti dari belakang, melewati kumpulan pepohonan tinggi yang gundul di atas jalan stapak yang lembab dan sempit serta dipenuhi oleh ribuan batu kerikil.
Cateline tahu akan menuju kemana jalan ini nantinya. Namun ia dengan langkah kaki yang mantap tetap menyusuri jalan setapak itu.
Di ujung jalan terdapat sebuah danau besar yang tampak selalu berkilau karena pantulan cahaya bintang. Danau tersebut sangat indah bagai batu permata, dan memiliki aura mistis yang kuat. Cateline tahu semua gosip yang beredar mengenai danau itu. Menurut penduduk yang tinggal di lembah, danau tersebut telah dikutuk.
Sejak para nenek moyang pertama kali menginjakkan kaki-kaki mereka yang kokoh dan penuh dengan harapan akan menemukan tempat tinggal yang nyaman bagi anak serta cucu dan cicit mereka di pulau ini, selalu saja ada beberapa orang yang menghilang setiap tahunnya. Semua saksi melihat orang-orang itu pergi ke arah danau lalu menghilang keesokkan harinya.  Mereka yang hilang adalah mereka yang kesepian. Tidak memiliki keluarga atau pun seseorang yang mengasihi mereka. Mungkinkah para peri ini yang menjemput mereka semua? Mungkinkah Cateline juga?
Setibanya di danau Cateline tidak percaya pada apa yang ia lihat. Ada banyak orang selain dirinya berdiri menghadap ke danau. Menunggu sesuatu terjadi.
Mereka semua dalam rentan usia yang tidak jauh berbeda dengan Cateline.
Cateline lalu melangkah dengan perlahan menuju pinggiran danau.
“Selamat datang di FairlyLand.” Sesosok bocah lelaki yang terlihat sebaya namun lebih tinggi beberapa senti dari Cateline menghentikan langkah kaki kecil Cateline. “Aku Shane.” Sapanya..
“Aku Cateline. Tapi, dimana itu FairlyLand?” tanya Cateline.
“Di sini.” Jawab Shane. “Di manapun para peri berada di sanalah FairlyLand.” Ia merentangkan tangannya.
“Sangat… menakjubkan.” Cateline terpesona dalam kebingunan.
“Tunggulah sampai pestanya dimulai.” Shane berkedip. Cateline lalu melihat sesuatu yang berkilau di mata Shane.
Beberapa waktu kemudian terlihat cahaya dari sebrang danau semakin mendekat. Saat parade peri sudah sampai di pinggiran danau, mereka lalu menyebar. Menebarkan sihir mereka ke seluruh wilayah danau dan menciptakan musim semi. Bunga-bunga berwarna-warni tumbuh dan bermekaran dalam sekejap mata. Mawar, tulip, dandelion… dan lebih banyak cahaya yang melayang di atas danau dengan gerakan anggun yang mengagumkan.
Apakah ini mimpi? Cateline menggosok-gosokkan kelopak matanya.
“Ayo! Kita juga harus berdansa?”
“Tapi aku tidak bisa…”
“Semua orang bisa berdansa. Kau hanya perlu mendengarkan musiknya.” Shane memejamkan kedua bola mata ungunya di bawah rambutnya yang hitam berkilau bagai mutiara.
“Musik apa?” Cateline merasa bingung karena ia sama sekali tidak mendengar apapun selain suara angin dan juga seruan peri-peri yang riang.
“Dengarlah…” pinta Shane.
Cateline lalu ikut memejamkan kedua bola mata birunya dan berusaha untuk mendengarkan tepat seperti apa yang Shane pinta. Tiba-tiba saja alunan demi alunan terdengar oleh Cateline, membentuk sebuah irama yang riang.  Suara angin, dedadunan, gemericik air, serta para peri di sisi danau yang memainkan alat musik mini dari bunga dan dahan.
“Wow…” Cateline berseru ketika musik itu menyapa telinganya.
Shane memberi Cateline senyuman yang sangat lebar dan mengulurkan satu lengannya bak pangeran untuk mengajak Cateline berdansa. Mereka kemudian melangkah bersama-sama dalam serangkaian gerakan dansa ke pinggiran danau.
Cateline lalu menyadari bukan hanya Shane dan dirinya yang berdansa. Namun masih banyak yang lainnya. Dengan pakaian yang beragam dan sangat kuno. Cateline terheran-heran entah sejak kapan mereka tiba dan sudah berapa lama waktu yang mereka lewati. Namun lalu Shane berkata “Mereka tak pernah ingin pergi dari sini dan meninggalkan semua keajaiban. Bagaimana denganmu?”
Cateline sangat bingung, bangaimana ia harus menjawabnya. Di satu sisi ia tahu di sini ia merasa sangat fantastis namun di sisi lain ia juga tahu Rosalyn akan sangat cemas jika mengetahui ia tidak ada di rumah atau di manapun esok pagi.
“Kau takkan menyesalinya, takkan pernah.” Kata Shane. Matanya berkilauan menebarkan lebih banyak keajaiban pada Cateline.
“Mungkin sekarang memang tidak…” jawab Cateline masih ragu.
“Dan semua yang ada hanya sekarang. Kemarin adalah sejarah dan besok tak pernah ada… hanya sekarang.” Shane melayangkan pandangan penuh dengan kasih.
Cateline tersipu. “Kau benar, Shane.”
“Senang bisa bertemu denganmu, Cateline. Sudah lama sekali aku menunggu kedatanganmu, sudah sangaaat lama…” Shane tersenyum ramah. Wajahnya terlihat sangat gembira dan matanya semakin bersinar.
Sebenarnya seberapa lama ia telah menungguku?  Cateline membatin.
Cateline sepertinya telah sangat terpesona oleh Shane. Tatapannya yang sendu namun berkilau membuatnya tak ingin beranjak pergi.
Mereka semua lalu larut dalam alunan nirwana yang indah, dalam pesta dansa yang takkan pernah berakhir.
Para peri menari dalam gemerlap bintang di atas danau. Bernyanyi gembira, menari-berdansa. Cateline memandang mereka berterbangan berpencar dan menyatu, dengan lincahnya bergerak mengikuti irama yang dimainkan alam. Seiring irama malam yang menggema, dalam kemelut gerakan dansanya bersama Shane, Cateline telah melupakan siapa dirinya dan apa masa lalunya. Semua kesedihan, iri hati dan juga kesendiriannya hilang dalam tatapan Shane dan senyumnya yang bagai permen kapas yang sangat lembut.
Cahaya-cahaya peri menyinari permukaan danau, memberi terang sang kaisar malam. Melodi malam yang begitu ceria menghipnotis waktu. Seakan matahari takkan pernah mendatangkan pagi kembali. Perasaan yang lembut-mempesona, menghilangkan arti keduniawian. Mendatangkan sihir bagai di negeri dongeng.
Tanpa sadar seorang gadis kecil tengah terperangkap dalam pesona sihir penyesat malam. Hilang dalam cerita tersembunyi yang abadi. Hingga sejarah ratusan tahun yang lalu terulang kembali dalam balutan gelapnya malam dan tebalnya kabut. Para peri telah memilihnya untuk dibawa ke dunianya, dunia tanpa waktu. Selamanya.
Mungkin jika ia bisa kembali nantinya, Cateline akan menyadari semua telah banyak berubah. Waktu telah meninggalkanmnya jauh di FairlyLand. Kini saat ia telah habis terbuai oleh keajaiban mereka, sang waktu sedikitpun takkan memberinya belas kasih.
Hmmm... I think i wrote this story 5 years ago. When i really wanted to disappear to Neverland and never get old.

0 comments:

Post a Comment

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

About Me

Powered by Blogger.

Copyright © Seira Writing Zone | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com